Search

Search

Search

Minggu, 29 November 2009

Bermodal Keindahan Alam dan Budaya Lokal, Bleberan Siapkan Desa Wisata

GUNUNGKIDUL: Yogyakarta punya potensi besar mengembangkan desa wisata. Salah satunya adalah Desa Bleberan, Kabupaten Gunungkidul.

Desa di Kecamatan Playen ini kini menyiapkan diri sebagai desa wisata. Desa ini memiliki modal berupa eksotisme alam serta tata budaya yang dapat ditawarkan menjadi paket wisata. Desa ini terletak sebelah selatan Hutan Wanagama Universitas Gadjah Mada, sekitar 10 kilometer.

Potensi lokasi wisata meliputi Gua Rancang, Gua Song Oya, Gua Cabak, Air terjun Sri Gethuk, Situs purbakala, Bendungan Tanjung, dan wisata pendidikan tenaga surya. Sedangkan wisata budaya yang ada meliputi Upacara Ritual Nyadaran, Upacara Gunungan Apem, Upacara Tumpeng Robyong, Hadrah Slawatan.

"Saat ini Kami sedang menyiapkan sebanyak 25 pondok penginapan dan sarana pendukung lainnya", kata Tri Harjono, Lurah Desa Bleberan.

Pana pertengahan 2009 nanti dia menargetkan semua persiapan dapat diselesaikan. "Kami mengharapkan adanya kerjasama saling menguntungkan dengan pihak swasta dalam menggarap desa wisata ini", imbuhnya.

Ia berharap desa wisata ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa, sekaligus menjadi sumber pendapatan asli desa. Selain potensi wisata, Desa Bleberan juga memiliki potensi dalam pengembangan perikanan, pertanian, dan kehutanan.

"Untuk menikmati keindahan alam dan budaya Desa Bleberan, pengunjung dapat datang kapan saja. Memang secara resmi, kami akan membukanya pada Juli 2009.", ujar Tri Harjono.

Ia merencanakan, Bupati Gunungkidul dapat berkenan membukanya, sekaligus mendapatkan paket wisata gratis perdana.

Kamis, 26 November 2009

global warming


Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.