Search

Search

Search

Senin, 05 Maret 2012

Hewan Langka di Indonesia


Keberadaan hewan atau binatang langka di Indonesia semakin memprihatinkan. Bagaimana tidak? Dengan adanya bencana dan berbagai kerusakan ekosistem membuat berbagai macam hewan mengalami kepunahan. Dan lagi hewan-hewan langka yang dilindungi oleh pemerintah juga semakin sedikit jumlahnya.

1. Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus). Binatang endemik pulau Jawa dan hanya terdapat di TN. Ujung Kulon ini merupakan binatang paling langka di dunia dengan jumlah populasi hanya 20-27 ekor.
2. Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Populasi badak sumatera hanya 220-275 ekor (2007), bahkan menurut International Rhino Foundation (Virginia) diperkirakan populasi badak sumatera tidak mencapai 200 ekor (2010).
3. Macan Tutul Jawa atau Macan Kumbang (Panthera pardus melas). Subspesies ini populasinya kurang dari 250 ekor.
4. Rusa Bawean (Axis kuhlii) Binatang langka endemik pulau Bawean dengan populasi antara 250-300 ekor (2006).
5. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Subspesies harimau ini populasinya tinggal 400-500 ekor.
6. Beruk Mentawai (Macaca pagensis). Satwa endemik dan langka dari Kepulauan Mentawai, populasinya antara 2.100-3.700 ekor.
7. Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Binatang langka ini populasinya sekitar 7.300 ekor (2004).
8. Simpei Mentawai (Simias concolor). Endemik Kepulauan Mentawai. Populasi 6.000-15.500 ekor (2006).
9. Kanguru Pohon Mantel Emas. Endemik Papua, populasinya N/A.
10. Kanguru Pohon Mbaiso atau Dingiso (Dendrolagus mbaiso). Endemik Papua Indonesia.
11. Kera Hitam Sulawesi (Macaca nigra). Kera langka dari Maluku dan Sulawesi dengan populasi sekitar 100.000 ekor.

Selain hewan-ewan langka di atas, ada lagi berbagai hewan langka yang juga dilindungi. Di Cagar Alam menjadi habitat resmi sang fauna untuk melestarikan hidupnya. Nah, berikut berbagai binatang langka yang dilindungi di Cagar Alam tanpa campur tangan manusia.

- Alap-Alap
- Anggang
- Anoa
- Babi Rusa
- Badak Jawa
- Badak Kalimantan
- Badak Sumatera
- Bajing Tanah
- Bangau Hitam
- Banteng
- Bayam
- Beruang Muda
- Beruk Mentawai
- Biawak Ambong
- Biawak Maluku
- Biawak Pohon
- Biawak Togian
- Bimok ibis
- Buaya Sapit
- Buaya Taman
- Buaya Tawar
- Burung Beo Nias
- Burung Cacing
- Burung Dara Mahkota
- Burung Gosong
- Burung Kipas
- Burung Kipas Biru
- Burung Luntur
- Burung Madu
- Burung Maleo
- Burung Mas
- Burung Merak
- Burung Paok
- Burung Sesap
- Burung Titi
- Burung Udang
- Cendrawasih
- Cipan
- Cubo
- Duyun
- Gajah Sumatra
- Gangsa Batu Sula
- Gangsa Laut
- Harimau Loreng
- Harimau Sumatra
- Ibis Hitam
- Ibis Putih
- Itik Liar
- Jalak Bali
- Jalak Putih
- Jantingan
- Jelarang
- Julang
- Junai
- Kahau Kalimantan
- Kakaktua Hitam
- Kakaktua Kuning
- Kakatua Raja
- Kancil
- Kangkareng
- Kanguru Pohon
- Kasuari
- Kelinci Liar Sumatra
- Kera Tak Berbuntut
- Kijang
- Klaces
- Komodo
- Kowak Merah
- Kuau
- Kubung
- Kucing Hitam
- Kura-Kura Gading
- Kuskus
- Kuwuh
- Labis-Labis Besar
- Landak Irian
- Lumba-Lumba Air Laut
- Lumba-Lumba Air Tawar
- Lutung Mentawai
- Lutung Merah
- Macan tutul
- Maleo
- Malu-Malu
- Mambruk
- Mandar Suiawesi
- Marabus
- Meong Congkok
- Merak
- Minata
- Monyet Hitam
- Monyet Jambul
- Monyet Sulawesi
- Muncak
- Musang Air
- Nori Merah
- Orangutan Pongo
- Orangutan/Mawas
- Pelanduk Napu
- Pengisap Madu
- Penyu Raksasa
- Pesut
- Peusing
- Platuk Besi
- Raja Udang
- Rangkok
- Rankong
- Roko-Roko
- Rungka
- Rusa Bawean
- Sandanglawe
- Sapi Hutan
- Siamang
- Suruku
- Tando
- Tapir
- Trenggiling
- Tungtong
- Ular Panana
- Walang Kadak
- Walang Kekek
- Wili-Wili
sumber :blogiztic.com

Senin, 13 Februari 2012

ONE STOP HIKING

Entah kenapa saya suka mendaki. Saya cewek dan saya nyaman melakukan itu semua. Karena saya ini tukang ngiler. Gampang kepengen sama hal-hal yang keren untuk dilakukan. Karena dulu menurut saya mendaki gunung itu keren.
Semuanya berawal dari mimpi. Saya ingin suatu saat bisa membawa kaki saya untuk menapak di puncak gunung, untuk melihat dunia kata bapak suatu ketika. Dan puncak memang merupakan impian para pendaki kebanyakan. Sehingga saya merasa puncak juga menjadi tujuan saya.

Lalu saya tiba pada pendakian pertama saya di gunung Merbabu. Amatir dan bodoh, tapi naïf. Satu buah jaket produk awul-awul berwarna merah tua, air 2,5 liter pake jerigen yang dihubungkan pake selang bening yang biasa dipakai untuk akuarium agar bisa saya sedot setiap saat, makanan kecil ala kadarnya dan sandal jepit sebagai alas kaki saya.

HASILNYA ? bisa ditebak…saya selalu minum dari selang setiap saat begitu merasa haus, kedinginan karena males pake jaket dan kaki saya terlalu sakit untuk berjalan cepat, bahkan perlahan-lahan mulai terseok-seok, lalu terjatuh-jatuh. Dengan sisa perjalanan lagi menuju puncak, saya berjanji dalam hati untuk tidak untuk mendaki lagi. Akan lebih baik melakukan hal lain, menyelam, susur gua, arung jeram, apapun itu asal bukan mendaki. Titik. Maklum obsesi saya waktu itu menjadi seorang petualang. Dulu menurut saya, orang yang suka melakukan kegiatan outdoor terlihat sangat keren. Orang yang saya anggap keren pertama kali dalam hidup saya adalah bapak. Di masa mudanya dia seneng banget ndaki gunung. Dulu waktu kecil, saya hampir diajaknya ke Merapi, sayang ibu saya sudah nangis bombay gak rela nglepas saya. Padahal, itu terakhir kalinya bapak naik gunung.

Dan menit demi menit berlalu, hingga berganti jam, puncak di depan mata. Pada awalnya merasa malas melangkahkan kaki, hingga akhirnya menginjak puncak untuk pertama kalinya. Kemudian, buru-buru janji itu saya ralat. Sumpah serapah dalam perjalanan tadi benar-benar saya sesali. Pemandangan dari atas puncak sungguh hebat. Saya melihat dunia seakan berada di genggaman tangan. “TUHAN SUNGGUH KEREN!!!”

“Setelah pengalaman itu saya mulai untuk belajar lagi tentang gunung”.
***

Belajar dari Gunung
Gunung itu dingin, besar, tinggi, dan menanjak. Saya menggambarkannya demikian. Teman saya pernah berkata “ Aku mendaki untuk berdoa di atas puncak. Tuhan itu di atas, dan aku berharap doaku terkabul karena aku berdoa di tempat yang mendekati-Nya”. Yah, bisa dibayangkan, saya berpikir berdoa bisa dimana saja bukan. Tapi kemudian saya mengerti, motivasi orang bisa berbeda-beda. Bukan melebih-lebihkan, saya mempunyai motivasi mencapai puncak pada awalnya, dan semakin menambah gunung saya sadar, puncak bukanlah segalanya, mendaki bukanlah tentang seberapa tinggi puncak yang didaki dan bukan seberapa gunung yang telah dijajaki. Karena ketika mendaki akan terdapat fase dimana saya merasa harus bisa mengukur kemampuan. Kemampuan fisik, mental, bahkan kemampuan dalam hal “perduitan”, mau pendakian kere-kerean, tetap pake duit kan? Walaupun cuma seratus perak. Walaupun terkadang saya bisa mendaki secara gratis, karena disuruh mengantar teman, atau tamu. Yah, lumayan…, bisa berhemat sedikit.

Kemudian saya mulai belajar untuk membuat pendakian berikutnya menjadi aman dan nyaman. Sesampainya di peradaban (baca: kota), saya membeli sepasang sandal gunung. Cukup lama memilih, saya tertarik dengan sandal berwarna abu-abu berukuran 40 seharga 55 ribu waktu itu. Saya ingat, itu sisa uang salam tempel dari nenek waktu lebaran. Diantar teman-teman SMA, kami sudah menunggu di toko bahkan sebelum tokonya buka. Memang dibandingkan dengan sandal jepit, ini lebih nyaman. Sayangnya saya kurang berhati-hati dalam memilih, sandal sebelah kiri kekecilan di bagian ibu jari. Sialnya cap harganya sudah saya copot. Mau tak mau saya harus menerima nasib ini. “ Ya dipake aja terus, ntar lama-lama juga molor” kata teman saya menghibur. Lalu saya ditraktirnya makan, ajaibnya, tempat makannya juga belum buka….jiaaaaaahhhh ternyata kami benar-benar kepagian.

“Hingga beberapa pendakian, si abu-abu ini menjadi teman mendaki saya”.
***
Saya memutuskan untuk bergabung dengan organisasi pecinta alam di kampus. Ini bukan keputusan serta merta.Cukup aneh,saya selalu membuat keputusan-keputusan dengan pertimbangan yang sering membuat orang di sekililing saya mengerutkan muka. Dulu saya memutuskan memilih melanjutkan SMA, dengan syarat sekolah itu harus mempunyai lapangan basket yang bagus. Karena saya dulu melihat, pemain basket itu terlihat seksi kalo lagi berkeringat. Alasan lainnya : saya ini korban komik Jepang Slumdunk dan I’ll. Lain lagi untuk memutuskan kuliah di Kehutanan. Waktu SMA, saya mengikuti lomba debat tentang konsevasi antar SMA se-propinsi Yogyakarta yang diadain oleh mahasiswa jurusan Konservasi Fakultas Kehutanan UGM. Di sana saya melihat, segerombol orang gondrong, item, tapi rapi, naik turun sebuah pohon jati menggunakan tali. Saya tertarik, “itu mapala Kehutanan UGM namanya “ celetuk salah seorang panitia.Dan memang itu benar-benar eye-catching banget di mata saya. Hingga akhirnya saya berkata kepada dua teman saya “ Aku sudah memutuskan mau kuliah di mana nih…aku mau jadi rimbawan!!!” Serta merta si Hari dan Siti Cuma bisa melongo sambil bilang “ HAH….???!!” Dan saya berlalu sambil ngakak-ngakak. Dan sampai sekarang, bayangan teman-teman saya masih sama, jika saya bekerja jadi “orang utan”, saya harus stay di hutan dan bakalan sering ngangkut kayu…bahkan om saya sendiri membayangkan saya akan berpenampilan layaknya tarzan yang cuma pake cawat dari kulit binatang dan sering bergelantungan gak jelas dari pohon ke pohon sambil teriak-terika kesetanan. Dan sampai sekarang masih sering ada yang nanyain kabar, “ eh gimana kabar orang utan satu ini?”. Kalo udah gini cuma bisa maklum aja, mereka gak pernah liat acara-acara wildlife-nya sekelas Steve Irwin sih..? Kasihan,padangan hidupnya sempit…hihihihihi.

Pengalaman Pertama
Hingga beberapa waktu, saya memutuskan menambah beberapa gunung. Mendaki dari satu gunung ke gunung lainnya. Ya tentunya saya ambil waktu di antara sela-sela tidak ada kegiatan kuliah. Jujur saja, waktu kuliah, saya bisa sangat fleksible mengatur waktu aktifitas saya. Dibandingin dengan waktu sekolah dulu, baik itu SLTP maupun SMA saya paling mentok Cuma bisa pake hari sabtu sore dan minggu. Dan saya bener-bener merasa kejepit waktu. Jadi gimana bisa saya menikmati perjalanan seumur batang rokok kayak gitu. Baru aja pergi, tau-tau harus udah pulang. Sampai rumah, harus nyiapin buat sekolah buat besok. Life is hard…

Tetapi walaupun susah, setiap pengalaman pasti punya “pertama kali” kan?. Kalo udah jadi yang kedua kali bakalan lebih expert dari yang pertama kali kan?. Sedikit intermezzo saja. Waktu aktif di kegiatan pramuka jaman masih SD, ada salah satu kejadian dimana saya benar-benar belajar untuk menjadi berani. Biasanya kenaikan jenjang dalam pramuka harus melewatis serangkaian uji kecakapan, dan berakhir di pelantikan yang selalu mengambil tempat seram. KUBURAN. Yah emang mau dimana lagi, gak ada tempat yang lebih seram dari kuburan kan?. Berjalan ke sana aja, dibagi per kelompok, teman-teman satu regu udah pada nempel saya semua. Dalam hati “ emang aku gak takut juga apa?” sialnya gengsi saya lebih tinggi dari gunung. Masak sih, anak kesayangan Pembina sama kayak gini aja takut. “ udah tenang, yang penting berdoa…” saya menenangkan teman-teman. Tiba giliran disuruh berjalan satu-satu masuk kuburan, dengkul rasanya lemes mau copot. Tapi sekali lagi gengsi menyelamatkan saya. Go ahead aja, plus mulut komat-kamit gak karuan….akhirnya berhasil juga.

Pengalaman “pertama kali” yang lainnya adalah waktu SMP saya ikut Palang Merah Remaja. Setiap hari minggu ada latihan repling. Sialnya tempatnya di jembatan rel kereta api tua deket kampung tempat kebanyakan temen-temen SD tinggal. Mantan temen-temen SD otomatis banyak yang ngliat kan?. Begitu harnest dan perlengakapan lainnya terpasang di badan saya, harus siap meluncur ke bawah. Bukan Cuma kaki yang gemetar, jantung rasanya mau meledak. Tapi gara-gara temen SD banyak yang lihat, jadinya langsung meluncur aja. Wusssshhhhh….sensasi pertama jantung saya tidak lagi berdetak…hilang. Tiba-tiba sudah di bawah menjejak tanah. Merasa ketagihan, saya minta terus-terusan meluncur.

Tetapi gak semua pengalaman pertama kali selalu berhasil di pengalaman kedua, ketiga dan seterusnya. Jika gagal di yang pertama, malah bisa jadi phobia. Saya phobia anjing. Gengsi saya runtuh di hadapan anjing. Badan serasa gak punya tulang. Ceritanya, waktu kecil, biasanya libur catur wulan sehabis ujian, bagi sebagian anak-anak akan dihabiskan berlibur ke rumah nenek. Sambil dikasih PR buat cerita tentang liburan. Tapi bukan tentang PR yang akan saya ceritakan. Ini tentang pengalaman pertama saya berhadapan dengan anjing. Awal ihkwalnya, saya dan adik memutuskan menghabiskan lbur kali ini di rumah nenek di Jogja. Sebenarnya kami lebih suka berlibur ke rumah nenek di kampung, yang letaknya di Kaliangkrik, di bawah Gunung Sumbing. Itu daerah asal ibu. Tetapi rasanya tidak adil, jika tidak mengunjungi nenek yang di kota. Oleh ibu, kami pun dititipkan teman bapak yang rumahnya di Jogja. Di sana kami bersama adik sepupu kami, suka sekali bermain dengan imajinasi. Ceritanya kami ini adlah detektif. Waktu itu saya keranjingan baca buku judulnya “TRIONA : tiga detektif cilik”. Atas usul saya, kami pun membentuk kelompok serupa dengan nama TRIONI. Kegiatan yang kami lakukan adalah melakukan penyidikan. Kami sering jalan dari gang ke gang, kampung ke kampung, bahkan menyusuri jalan raya hingga pasar Telo. Rumah nenekku terletak di Jalan Prawirotaman yang terkenal dengan sebutan kampung turis. Sepanjang jalan, terdapat hotel-hotel, bar, gallery dan tentu saja lengkap dengan turisnya. Jadi sejak kecil saya sudah terbiasa melihat banyak turis lalu lalang dengan banyak rupa-rupa. Dari yang pake baju lengkap, sampai yang pede hilir mudik cuma pake bikini.

Suatu hari, di pagi hari kami melakukan penyidikan seperti biasa. Sekitar jam 9 pagi kami mulai dari hotel di sebelah rumah nenek. Nihil. Kami jalan lagi, hingga tiba di hotel Galunggung. Tiba-tiba ada dua ekor anjing milik yang punya hotel menghadang kami. Yang satu kecil dan yang satunya lagi besar. Sialnya, adik saya langsung manjat pagar dan adik sepupu saya jongkok. Saya ikut jongkok tetapi si anjing malah berlari kea rah saya. Dan saya, tanpa disadari sudah lari dikejar anjing yang kecil. Saya sampai masuk ke dalam hotel lalu ke kolam renang, sembari jadi tontonan turis-turis yang lagi berenang. Dan akhirnya saya ditolong pemilik anjing. Pengalaman kedua tidak terlalu lama, keesokan paginya sekitar jam 5, sehabis sholat subuh kami jalan-jalan lagi. Saya sudah was-was, sambil lirak-lirik tempat mana yang bagus buat kabur kalau dikejar anjing lagi. Perkiraan saya benar, si anjing yang sama sudah menghadang kami, kami lari berpencar. Kedua adik saya lari pulang ke rumah, sementara saya lari kea rah antah berantah. Gelap dan saya berhenti di sebuah rumah ketika yakin si anjing tidak mengejar lagi. Belum berani keluar, tiba-tiba saya mendengar suara bayi menangis, bulu kuduk merinding…Cuma bisa memejamkan mata sambil berdoa agar matahri cepat terbit. Nyatanya waktu berjalan begitu lama…. Stelah berhasil pulang, saya baru tahu, rumah tempat saya bersembunyi adalah rumah kosong. Hiiiii……………….

Persiapan dan peralatan
Membawa peralatan ala kadarnya dan stay cool buat mendaki???. Saya suka melakukan hal itu. Cukup bawa rain coat, daypack kecil berisi makanan, minuman dan jaket. Itu karena kebetulan gunung-gunung yang saya daki bisa ditempuh dalam waktu sehari, seperti Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing. Hingga saya berpapasan dengan sekelompok anak-anak SMA di jalur gunung Merapi. Mereka berteriak-teriak karena salah satu diantara mereka terperosok ke jurang. Ketika akhirnya mereka bisa ditolong, saya sadar, saya hampir serupa dengan mereka. Perlengkapan yang saya bawa terlalu sedikit malah. Saya masih beruntung, saya tidak terpeleset masuk jurang. Saya mulai membayangkan, bagaimana jika saya terjatuh? Bagaimana jika saya bertemu binatang buas? Bagaimana jika saya tersesat?

Setelah masuk Mapala, yang saya rasakan adalah merasa sok paling hebat. Merasa paling mumpuni di bidang pendakian. Padahal, awal masuk mapala saya masih ingusan. Baru 2 gunung yang pernah saya daki. Sampai pernah suatu hari di sela-sela kuliah teman saya bertanya “ eh kemaren naek gunung Sindoro ya?”. “Iya” jawab saya, saya tahu, minggu kemaren dia naek gunung Merbabu, tapi gak kuat sampe puncak. “Sampe puncak?” tanyanya lagi. “Aku pasti harus selalu nginjak puncak ya kalo naek gunung, sayang tau udah jauh-jauh ndaki….”jawab saya bangga. Seketika mulut temen saya monyong, sebal…

Kemudian saya mulai berubah sedikit-demi sedikit. Langkah pertama yang saya lakukan adalah mulai memakai sepatu jika mendaki. Si abu-abu mulai pensiun ke gunung sejak saya mendaki gunung Semeru. Kapok banget ketika saya terjebak dalam kebajkaran di gunung Sindoro. Ini pengalaman pertama ketika maut hampir dekat di depan mata. Sandal saya tidak cukuo kuat menahan panasnya alang-alang bekas kebakaran. Apalagi saya mesti lari-lari dikejar api. Intinya : saya kapok. Ampun deh. Waktu itu kami bersepuluh orang. Kami terpisah menjadi 2 tim hanya dalam waktu hitungan detik. Enam orang berlari ke bawah, dan saya bersama tiga orang lainnya terpaksa berlari ke puncak. Saya cuma bisa berdoa “ Tuhan saya belum solat Dhuhur, ijinkan saya solat sebelum mati” sambil menahan tangis. Bahkan sombong pun tak bisa menolong saya dikala hampir berjumpa dengan maut.

Alam cepat sekali berubah, dengan kehendak-Nya tanpa hitungan detik perubahan ekstrim bisa terjadi. Di tanah yang sama, masih memandang langit yang sama pula, cuaca yang tadinya cerah tiba-tiba diselimuti kabut. Di musim kemarau di lereng Gunung Lawu, saya mendapati hujan orografis tanpa sempat melihat mendung.
***

Teman saya bilang “ Pack your home up?!”
Awalnya saya meminjam sepatu milik teman. Berat sekali memang, sepatu memang berat jika dibandingkan dengan hanya memakai sandal gunung. Akan tetapi justru saya mulai merasakan banyak keuntungan dengan memakai sepatu. Di semeru, kaki saya aman dari pasir, debu, dan kerikil. Dan yang paling penting, sebagai cewek, kaki kita bisa tetap terjaga. Kuku saya tetap bersih, hal yang tidak saya dapat saat saya memakai sandal. Dulu kuku saya sering menjadi hitam bahkan patah karena kemasukan pasir dan debu. Bahkan jika melewati bekas kebakaran, otomatis warna hangus berpindah ke kaki saya.

Saya mulai membiasakan diri untuk mempersiapkan 2 perlengkapan besar sebelum melakukan pendakian. Perlengkapan dalam dan perlengkapan luar. Perlengkapan dalam terdiri dari persiapan rohani dan jasmani. Rohani lebih ke mental dan kemauan sedangkan jasmani lebih ke persiapan fisik, seperti latihan beban, jogging, yang penting gerakin badan biar otot gak kaget waktu mendaki. Berat banget kedengarannya, apalagi saya paling benci kalo harus lari. Jogging adalah olahraga yang paling saya hindari. Tapi ternyata berguna banget lo. Coba bayangin, kita gak mungkin mendaki ketika sakit, atau gak mungkin mendaki gunung di saat erupsi, dengan alasan melatih mental, itu hal konyol. Pada intinya tetaplah realistis dan rasional. Gak cuma cinta aja yang harus pake logika, mendaki juga harus pake logika.

Perlengkapan luar merupakan perlengkapan nyata atau sering di sebut peralatan atau barang. Bisa dipegang, diraba dan dibawa. Entah itu perlengkapan pribadi maupun perlengkapan kelompok jika melakukan pendakian dengan orang lain. Saya selalu membuat daftar perlengkapan sebelum melakukan pendakian. Ini mempermudah untuk melihat apa yang diperlukan. Ada perlengkapan pribadi dan juga ada perlengkapan kelompok. Perlengkapan pribadi mempunyai fungsi untuk memenuhi kebutuhan pribadi saja. Sedang peralatan kelompok, itu bisa dipake bersama-sama. Gak harus banyak-banyak sih, tapi saya bisa nyaman dan aman kalo mendaki.

Pertama cukup ambil secarik kertas, lalu tulis apa yang diperlukan dalam pendakian. Kumpulkan perlengkapan tersebut, lalu cek kembali apa ada kekurangan atau tidak. Saya membuat prioritas perlengkapan minimal yang harus dibawa. Walaupun gunung tujuan saya tidak terlalu sukar untuk didaki. Prepare for the worst. Saya membawa ransel atau carrier untuk pendakian yang membutuhkan waktu berhari-hari dan memakai daypack untuk mendaki dalam waktu yang tidak lama. Akan lebih baik jika memakai daypack dan carrier yang mempunyai frame di bagian punggung, agar aman dan nyaman ketika membawa beban. Didalam tas minimal harus tersedia alat tidur seperti sleeping bag misalnya, pakaian ganti, jas hujan, obat-obatan, dan senter. Survival kit dan body service kit merupakan perlengkapan gak wajib, tapi selalu saya bawa. Survival kit yang saya bawa cukup simple kok, benang dan jarum, korek api, peluit, dan pisau lipat itu saja. Setidaknya untuk berjaga-jaga seandainya baju sobek saya bisa menjahitnya di saat darurat , atau terpisah dari rombongan, saya bisa meniup peluit minta pertolongan.

Hari itu, di pantai Siung saya dan beberapa teman latihan panjat tebing. Karena akhir pekan, suasananya ramai oleh beberapa kelompok Mapala. Guyub…hingga saya tertarik melihat anggota Mapala dari Fakultas Psikologi UGM yang memakai jilbab lebar dan rok panjang. Dia sangat anggun, coba bayangkan, tanpa kesusahan dia memanjat hingga mencapai top. Sejak saat itu saya sangat mengapresiasi teman-teman yang sudah mantap berjilbab dan berkecimpung di dunia kepecintaalaman. Mereka perempuan-perempuan hebat.

Sementara body service kit itu alat-alat untuk kenyamanan badan. Setiap mendaki gunung saya selalu membawa sunscreen, kanebo atau tisu basah, sikat gigi, plus mouthwash dan tentunya sampo. Suncreen untuk melindungi kulit kita dari terbakarnya matahari, ada alternatif yang murah juga, ini bisa diganti dengan minyak zaitun, sayang minyak ini baunya gak ketulungan. Kanebo bisa difungsikan sebagai pengganti handuk dan tisu basah digunakan untuk membersihkan muka dan organ intim kita sehabis buang hajat, apalagi sekarang sudah ada tisu basah khusus untuk wanita yang mengandung ekstrak daun sirih…jadi aman kan?.

Sikat gigi, adalah menu wajib buat saya bawa, karena jika berhari-hari di gunung, gak Cuma temen aja yang bisa pingsan karena bau jigong kita, bahkan saya juga bisa sesak napas bau mulut sendiri. Mouthwash buat pengganti pasta gigi. Pengalaman mendaki gunung Slamet pada musim kemarau, benar-benar sulit mencari air. Sungai kering semua. Cuma bisa pasrah sikat gigi, tanpa berkumur. Walaupun gigi bersih, tapi napas tetep bau. Sejak saat itu saya mulai menggunakan mouthwash bila ingin mendaki. Lagi pula memakai mouthwash bisa menghemat penggunaan air loh.

Saya tidak memakai sampo sewaktu mendaki. Tapi saya gunakan ketika telah kembali di basecamp. Saya tahan gak mandi berhari-hari bahkan ber bulan-bulan. Tapi saya gak tahan kalo gak keramasan. Dan satu lagi pernak-pernik make up yang selalu saya bawa, sikat kuku. Ini saya pakai bersamaan dengan keramas, yaitu waktu tiba di basecamp. Jadi sekembalinya ke rumah, kuku saya tetap kinclong. Ting…!

“Intinya, body service kit adalah alat untuk menjaga kita agar tetap cantik dan tampan di alam”.

Gak ada loe gak rame!
Dan saya lebih suka mendaki dengan jumlah 3 sampai 5 orang. Tidak terlalu banyak, juga tidak terlalu sedikit. Jumlah 3 orang itu sudah batas minimal standar keselamatan loh. Sederhananya, ketika salah satu sakit, yang satu bisa menjaga si sakit, sementara yang satunya lagi mencari pertolongan. Sebaliknya minimalisir mendaki bareng orang satu kampung. Kasihan gunungnya, dia juga punya kapasitas beban maksimal lo. Sesekali di momen istimewa boleh-boleh aja. Pas 17 Agustus ato bersih gunung rame-rame. Yang lebih penting hindari mendaki seorang diri kalo gak terpaksa, bener-bener gak safe kan. Kalo kenapa-kenapa orang lain juga yang repot.

Saya bercita-cita mengenakan toga di hari kelulusan di gunung. Sayangnya, di hari itu cuma saya dan sobat saya Anggit yang bisa. Gak ada teman lagi, kami nekat mendaki ke gunung Merapi berdua. Berharap, menemukan teman sewaktu mendaki nanti. Sampai di basecamp suasana sepi, kami berdua langsung mendaki. Baru Hampir memasuki jalur pendakian, kami berhenti di warung kopi. Kami dilarang mendaki malam itu karena sedang marak perampokan di jalur pendakian. Lama menunggu sambil manyun-manyun akhirnya kami pasrah, beruntung ada 1 orang yang berniat mendaki. Atas saran si ibu warung, kami diperbolehkan mendaki jika bertiga. Deal!

Keuntungan mendaki lebih dari satu orang, adalah BERBAGI BEBAN. Terutama untuk perlengkapan kelompok. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Itu kata pepatah. Yang benar udah berat kalo dipikul apalagi kalo dijinjing. Pembagian beban yang benar bukan berarti harus sama rata. Tapi disesuaikan secara adil, yaitu sesuai kemampuan masing-masing.

Pack your home up! Teman saya Echa (seorang pria loh), yang ke british-british-an sering bilang itu. Bukan berarti kita harus bisa membawa semua benda kesayangan kita, harus bawa guling kalo mau tidur, harus bawa piring kesayangan kalo mau makan. Saya teringat jaman SMP dimana teman saya benar-benar membawa kasur busa yang tebelnya segede gajah lengkap dengan bantal, guling, selimut, plus boneka raksasa kesayangan dia. Benar-benar merepotkan. Saya jadi berpikir seandainya saja ada doraemon, saya juga akan membawa semua barang saya setelah sebelumnya saya buat kecil menggunakan senter pengecil, dan langsung menginjak puncak menggunakan pintu kemana saja atau memakai baling-baling bambu buat motret kawah langsung dari sudut vertikal.

Awal mula mendaki, walaupun cewek saya paling malas bawa sunscreen dan lain-lain. Alesan saya itu cewek banget. Jadinya, muka saya selalu hitam dan mengelupas setiap habis mendaki, kulit bentol-bentol digigitin agas gara-gara males pake lotion anti nyamuk, hidung saya sering lecet dan berdarah disebabkan males pake masker di kondisi gunung yang kering dan berdebu.Kian lama saya menyadari kodrat saya sebagai perempuan yang harus tetap cantik di mana saja.Saya bisa mengehemat penggunaan air dengan memakai tisu basahuntuk membersihkan muka, pake mouthwash untuk sikat gigi, memakai sunscreen agar kulit tidak terbakar, dan kadang memakai lipbalm agar bibir tidak pecah-pecah.

Ini semua tentang bagaimna kita bisa membawa barang untuk semua kenyamanan kita nanti ketika mendaki. Bagaimana barang yang kita bawa bisa menopang segala kebutuhan kita secara optimal. Saya dan teman-teman punya prinsip…boleh kere di kota atau di kos. Tapi di gunung kita harus mewah. Jadi jangan heran di gunung kami terbiasa masak ayam saus tiram, bakwan jagung, martabak telur, sambal gorang ati, opor ayam, bakso tahu, sayur jamur, sate sapi, sup, bahkan pernah teman saya bela-belain buat klepon, udah lama buatnya….makannya tinggal lep…..

Saya pilih gunung itu………..!!!
Jelas, satu gunung satu dengan yang lainnya memiliki karakter yang berbeda. Dan jelas tipikal gunung di Indonesia memang unik. Ada beberapa kesamaan. Umum jalur pendakian kebanyakan dimulai dengan melewati pemukiman berupa desa. Terdapat base camp, di desa terakhir. Di basecamp kita bisa mempersiapkan semuanya sebelum melakukan pendakian. Seperti melakukan pendaftaran ijin pendakian, penitipan motor, mengisi air, dan beristirahat sejenak. Bahkan kita bisa menyewa porter jika diperlukan. Hampir semua gunung yang boleh didaki terdapat beberapa shelter atau pos di sepanjang jalur pendakian. Kita bisa menginap di shelter tersebut karena memang kebanyakan difungsikan sebagai camping ground. Jadi usahakan untuk mendirikan tenda di tempat yang sudah disediakan. Tidak dianjurkan untuk membuka lahan baru, karena perlu diketahui biasanya gunung adalah tempat bagi hutan-hutan alam terakhir yang tersisa, apalagi di pulau Jawa. Di gunung Slamet, gunung Gede, dan gunung Argopuro misalnya, di beberapa pos didirikan sebuah bangunan. Bangunan itu bisa difungsikan untuk menginap, tetapi lebih baik tetap menggunakan tenda.

Tahun lalu saya dan temen-temen kampus menemani Simone dan Torel, bule-bule cantik mendaki Merapi. Pada awalnya saya pikir mereka baru pertama kalinya mendaki. Saya siapkan peralatan lengkap untuk berjaga-jaga kalo kami kemalaman di tengah jalan. Kenyataannya saya dan teman-teman harus kejar-kejaran dengan si bule. Dengan jalan santai biasanya butuh 5 jam untuk sampai puncak, hanya kurang dari 3 jam kami sudah tiba di Pasar Bubrah, yaitu pos terakhir sebelum puncak.Napas sudah senin-kamis, tiba-tiba Simone nyeletuk kalo dia inggal di kaki gunung Alpen dan sudah sering ndaki sebelumnya. Dari Simone saya baru tahu, kalau kebanyakan gunung di luar negeri di setiap pos, pendaki tidak perlu mendirikan tenda. Karena di setiap pos terdapat pondok pendaki dengan fasilitas yang lumayan bisa memanjakan diri. Bahkan di beberapa gunung seperti Kinabalu dan Everest terdapat hotel-hotel khusus untuk pendaki.

Pengalaman pertama mendaki bagi kebanyakan orang adalah “ngikut”. Entah memang direncanakan atau tidak, saya juga adalah pengikut setia teman yang lebih dulu berkecimpung di dunia ini. Bukan hal yang memalukan kok, enaknya ngikut terkadang durasi lamanya pendakian disesuaikan pengikut yang paling amatir. Gak enaknya, terkadang jika si kawan yang udah mumpuni, bosan di jalan karena kelamaan, pada akhirnya akan melakukan segala cara untuk mempercepat perjalanan. “Eh itu ada jangkrik warnanya merah!!!” teriak si Hari waktu mendaki bersama saya. Saya yang berada di ujung belakang langsung lari wussssssssssss melampaui teman-teman di depan saya, penasaran kayak apa jangkrik berwarna merah itu. Busyet, saya ditipu. Positifnya, ternyata saya bisa berjalan cepat di jalanan menanjak itu, dan itu adalah tanjakan tajam terakhir sebelum ke puncak. Bisa dibayangkan, motivasi amat sangat diperlukan dalam keadaan terjepit. Dan motivasi jangkrik merah? It works.

Kebetulan saya berdomisili di tempat yang dikelilingi gunung. Dari rumah, saya bisa memandang Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing. Dan enaknya gunung-gunung tersebut mempunyai aksesibilitas yang lumayan baik. Transportasi ada, basecamp ada, peta jalur tersedia, camping ground juga available di setiap shelter, bahkan jika terjadi hal darurat tim penolong juga selalu siap. Gunung-gunung seperti ini yang recommended untuk pemula.



Naek gunung gak pake ribet

Saya sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiran untuk mati di gunung. Melalui pendakian saya justru ingin terus hidup untuk melihat dunia secara mendalam. Tak ada perasaan hidup yang lebih hidup ketika berhasil mencapai puncak impian.

Diawali dengan cerita-cerita bapak tentang gunung yang telah dia daki. Dari semua gunung yang beliau daki, gunung Sumbing-lah yang memiliki kesan paling istimewa. Bapak mendapat penempatan di daerah di bawah kaki gunung Sumbing dalam program KKN-nya (Kuliah Kerja Nyata). Dan di tempat yang sama pula mendapatkan istri yang kini menjadi ibu saya. Bisa dikatakan gunung Sumbing adalah gunung penuh kenangan buat bapak dan ibu. Cerita tersebut menjadi motivasi hingga saya memutuskan untuk mengikuti jejak bapak. Bapak adalah orang pertama yang ingin saya lampaui.

Motivasi yang kuat menjad modal yang bagus buat yang punya niat mendaki gunung. Akan lebih bagus jika sebelum melakukan persiapan hunting informasi. Mncari informasi adalah saat yang paling mengasyikkan. Dari cara yang paling jadul, tanya ke orang yang udah pernah daki, sampe ke cara modern yaitu tanya ke mbah dukun Google dari alam maya. Tinggal klik langsung ketemu apa yang mau di cari.

Bisa beragam informasi yang di dapat. Semakin update informasi semakin mantap bekal perjalanan kita. Informasi utama yang wajib di cari yaitu kriteria gunung, musim apa paling baik buat ndaki, sumber air, akses transportasi, rute jalur pendakian, pos-pos sepanjang jalur pendakian, estimasi waktu, mengurus perijinan, dan masih banyak lainnya. Jangan lupa untuk dicatat. Paling baik sebelum mendaki adalah mampir di basecamp. Melaporlah terlebih dahulu sebelum mendaki. Berapa jumlah orang? Mau mendaki berapa lama? Dan mau turrun melalui jalur yang sama atau tidak? Bertanyalah tentang informasi sedetail mungkin.

Pendakian ke gunung Sindoro yang kedua saya bersamaan dengan pemberian materi navigasi darat. Kami didampingi dua orang senior. Sebelumnya kami sudah diperingatkan untuk berbicara yang baik-baik saja. Nyatanya, sepanjang perjalanan kami bercanda berlebihan, hingga pukul 3 dini hari, kami tidak kunjung sampai ke pos 2. Baru sadar kami tersesat di punggungan yang berbeda.


Memang gak semua gunung terdapat basecamp. Akan lebih baik meluangkan waktu untuk sejenak bersantai di desa terakhir yang terdapat di kaki gunung. Dan bertanyalah tentang kondisi gunung pada saat itu. Larangan-larangan apa yang harus dipatuhi. Karena saya menjumpai banyak aturan unik di setiap gunung yang berbeda. Di Lawu dilarang menggunakan baju hijau, di gunung Ciremai wanita yang datang bulan dilarang mendaki, di Arjuno-Welirang dilarang mendirikan tenda di pos-pos tertentu, di Semeru diharuskan berada di puncak tidak lebih dari jam 9 pagi dan Sumbing adalah gunung yang terkenal dengan seribu larangan. Di basecamp Sumbing yang melalui jalur desa Garung, saya menjumpai papan larangan yang gede banget : dilarang bicara gak sopan, dilarang kencing sembarangan, dilarang ini itu hingga dilarang bohong.


“Nah, jika sudah mantap, ayo mendaki! Bismillahirrohmanirrohim!”
***

Urusan buang membuang
Ada satu aturan yang pasti dijumpai di hampir semua gunung. Dilarang buang sampah sembarangan. Agaknya untuk urusan yang satu ini kebanyakan manusia Indonesia terkenal bebal. Susah dikasih tau. Saya bingung karena setiap pendaki pasti mengaku sebagai pecinta alam. Dan mereka juga pasti tahu jika aturannya harus membawa kembali sampah sisa bungkus apapun itu. Sayangnya mereka lebih suka menjadi tuli, dan pura-pura nggak mengerti.

Beberapa teman saya agak senewen ketika tahu saya ini Mapala. Saya menyadari hal itu. Terkadang saya merasakan banyak sindiran ketika dengan sengaja salah satu dari mereka membuang puntung rokok. “Wah kalo Mapala, pasti gak boleh buang kayak gini ya?” yang lebih menyedihkan, ketika saya datang ke resepsi teman SMA, sahabat saya dengan sengaja membuang kantong plastik bungkus kado di bawah motor saya. “Tuh, kamu kan mapala, kenapa enggak mungutin tuh sampah?”. Terlepas dari itu saya masuk mapala untuk mendalami bagamana cara mendaki gunung yang aman, dan bukan menjadi tukang sampah. Saya tahu, perubahan bukan dari orang lain. Orang berubah karena dia sendiri memutuskan untuk berubah.

Apes ketika mendaki gunung Slamet saya kedatangan tamu rutin bulanan. Untung selama ini saya tidak merasakan yang namanya nyeri haid. Masalah datang ketika saya harus membuang pembalut bekas. Tidak mungkin mencuci pembalut di gunung disaat saya harus menghemat air. Bingung, akhirnya saya menggali lubang dan mengubur pembalut bekas tersebut. BERES !. Pendakian saya ke Sindoro berikutnya menyadarkan saya. Saya melihat pembalut bekas beserakan di sekitar pos 2. Bekas digali binatang.Sejak saat itu saya selalu membawa kantong plastik dan menyisakan satu ruang di ransel untuk menyimpan pembalut bekas. Sesampainya dirumah saya bisa mencucinya dan membuangnya dengan aman di tempat yang seharusnya.

Biasanya di gunung yang masuk kawasan konservasi agak ketat memberlakukan masalah sampah. Sebelum mendaki, biasanya para pendaki dicek barang bawaannya dan ditimbang. Di sini juga diperkirakan berat sampah dari bungkus sisa logistik. Nanti setelah turun, sampah yang di bawa juga akan di cek kembali. Aturan seperti ini sangat efektif untuk menjaga kebersihan gunung Indonesia. Pengalaman seperti ini saya dan teman-teman dapat ketika mengunjungi Taman Nasional Meru Betiri dalam rangka lomba jelajah alam. Logistik kami dicatat sampai ke merk-merknya. Kami terbiasa membawa banyak kantong plastik bekas yang dilipat kecil-kecil untuk berbagai fungsi. Jika hujan, bisa menjadi pelindung alat-alat yang rentan rusak karena air. Selain itu bisa ,menjadi pembungkus sampah sisa logistik. Sampah kami bagi menjadi 2, yang bisa busuk alias sisa sayuran dan makanan, serta yang tidak mudah busuk alias bekas plastik pembungkus. Di titik finish, kami kembali membongkar barang bawaan dan diperiksa satu per satu. Sungguh menyenangkan ketika saya terlibat di kegiatan bersama orang-orang yang juga paham akan tindakan baik ini.

Manusiawi jika waktu naek gunung kita masih melaksanakan kewajiban kita sebagai manusia. Kalo capek istirahatlah, kalo lapar silahkan makan, kalo haus minumlah, kalo mau solat silahkan saja. KALO PERUT MULES???

Pemandangan padang rumput di Cikasur, gunung Argopuro sangat indah. Selesai mendirikan tenda dan masak untuk makan siang, saya berlarian ke sana kemari. Saya dan Anggit memutuskan untuk mengambil selada air di sungai yang mengalir tak jauh dari tenda kami berdiri. Anggit yang sudah terlebih dulu ke sungai, terlihat asyik memanen selada yang tumbuh mengapung di atas air. Menyusul ke sungai, saya menginjak sesuatu, dan terpeleset jatuh. Bau menyengat…saya punya firasat buruk. Saya menginjak hajat orang.

Buanglah hajat pada tempatnya. Di bebrapa gunung di luar negeri, para pendaki biasanya dibekali pispot portable yang ringan di bawa. Sepulangnya dari mendaki, mereka bisa menyerahkan pispot tersebut ke basecamp untuk dibuang ke tempat yang sudah di sediakan. Di Indonesia, fasilitas tersebut belum tersedia. Tapi bukan berarti kita boleh boker sembarangan kan? Cara yang aman dan nyaman ketika membuang hajat adalah mencari tempat yang tertutup, aman, dan nyaman. Lalu galilah lubang dengan menggunakan golok atau parang. …………………………..Setelah selesai, dan gunakan tisu untuk membersihkan. Taruh tisu bekas di lubang, lalu tutup lubang dengan tanah. Huh……….legaaaaaaaaaaaa.


Duit oh Duit…?!!!
Ini nih urusan yang selalu dicari orang sepanjang hidupnya. “Gak ada duit kagak makan”…, tapi buat saya ini adalah seni. Teknik bagaimana mengontrol keuangan adalah suatu keindahan yang tiada habisnya. Dari kecil saya percaya, Tuhan sudah menyiapkan segalanya buat saya. Umur saya sampai kapan? Siapa jodoh saya? Pekerjaan? Jabatan? Punya anak berapa? Apalagi untuk urusan duit. Ini adalah urusan kecil buat-Nya. Belum pernah dengar kan orang mati gara-gara kehabisan duit? Malah seringnya orang bunuh-bunuhan karena rebutan duit.

Seni mengelola uang itu benar-benar total saya mulai ketika menginjak bangku kuliah.Uang saku saya Rp. 350.000,00 perbulan. Awal-awal kuliah cukup, bahkan sisa. Maklum, kegiatan belum ada. Masih malu-malu buat cari makan sering-sering. Setelah sering ikut kegiatan sana-sini, duit cepet menipis.

Saya putar otak, solusi pertama adalah berhutang. Yah, gali lubang dan tutup lubang. Adalah pak Mardi yang jualan angkringan dekat kampus tempat menyambung hidup. Biasanya di akhir bulan, saya ngebon di sana. Baru awal bulan saya bayar. Lain lagi kalo pengen naek gunung pas kantong kering. Ada saja cara Tuhan ngasih jalan buat hamba-Nya yang lagi kesusahan. Di ajak naek ke Gunung Slamet, kepengen banget tapi duit tinggal 100 ribu. Saya nundukin kepala, sambil bilang dalam hati “ siapa yang aku lihat pertama kali, dialah yang bisa ngasih pinjeman duit”. Begitu kepala saya naikkan, ngliat sosok temen di depan mata. Rohmad yang sedang berdiri di dekat gerbang kampus langsung saya samperin. Lumayan, 100 ribu lagi berada dalam genggaman. “Awal bulan aku bayar deh…makasih” sambil jingkrak-jingkrak. Tapi yang paling sering minjemin saya duit adalah temen baik saya, Endah. Uang sakunya selalu saja sisa. Entah udah berapa kali saya pinjem duit dari dia. Sama Endah, saya gak cuma minjem duit, tapi juga minjem catetan kalo mau ujian dan sering kalo saya sakit, dia yang ngerawat saya. Beliin saya bubur, ngasih obat, bahkan saya disuruh tidur di kamar kosnya, kalo saya ngeyel dia bisa lebih cerewet dari ibu.

Cara kedua adalah menabung…eh tidak. Bagi yang suka menabung, ini cara yang bagus, tapi yang gak bisa bisa jadi ini cara tersulit buat mengelola uang. Kalo saya, lebih suka mencari beasiswa. Saya ingin sekali punya peralatan outdoor sendiri. Selama ini saya selalu meminjam punya teman. Satu-satunya peralatan yang saya punya yaitu sleeping bag, itupun pemberian om. Karena itu saya jaga barang pinjaman layaknya barang sendiri.

Saya ingin punya tenda, carrier,sepatu, dan peralatan outdoor lainnya. Sayang cari beasiswa itu juga untung-untungan. Saya baru dapat menembus besiswa di aplikasi yang ke 8 kalinya. Habis itu saya daper terus hingga menjelan semester terakhir kuliah. Dengan duit besiswa saya bisa membeli tenda seharga, daypack, jaket, semuanya dengan 2 kali angsuran. Carrier dan sepatu tracking pertama saya dibeli pake duit salam tempel waktu lebaran. Inget banget, dianter Besten dan Gareng, kami keliling kota Yogyakarta cuma untuk cari yang paling murah. Dapet carir 70 liter seharga 350 ribu dan sepatu model running seharga 160 ribu. Waktu itu uang saya kurang 50 ribu, untung ada 2 teman saya yang siap meminjami duit. Menghargai perjuangan yang tidak mudah untuk mendapatkan semua itu, saya sangat over protective kalo minjemin alat. HARAP MAKLUM.

Cara lainnya adalah sering-seringlah ikut proyek penelitian dan kompetisi. Entah sudah berapa kali saya menyandang status enumerator. Susahnya, saya harus ketat membagi waktu. Karena seringnya proyek itu dilaksanakan barengan waktu kuliah. Enaknya bisa nambah banyak pengalaman, dapet banyak link, dan juga tambahan duit. Dari duit proyek pertama, saya bisa membeli jam tangan lapangan yang saya impi-impikan. Selain proyek, duit bisa didapet dari ikut ajang kompetisi. Sejak SMA saya sering ikut kompetisi. Tebak-tebak berhadiah, kalo menang bisa dapet duit, kalo belum beruntung, yah bisa ngumpulin sertifikat sebagai peserta. Dari nulis sampe lomba yang ngeluarin keringet pernah saya lakuin. Yang penting halal.

Biaya pendakian itu relatif. Tergantung apa yang mau dibawa, seberapa banyak, dan berapa orang yang ikut. Secara umum, pengeluaran biaya akan sangat diperlukan di pembelian logistik, transportasi, dan perijinan. Tiga hal itu mau tidak mau harus dipersiapkan. Logistik bukan hanya berupa makanan, tetapi juga berupa bahan makanan dan tetek bengek lainnya seperti bahan bakar memasak misalnya. Terkadang untuk pendakian di gunung yang tidak memakan waktu lama, saya malas untuk memasak. Jika memang tidak mau ribet urusan masak memasak, kita bisa membawa logistik yang cepat saji. Sering saya dan teman-teman bercandaan di sela-sela istirahat ketiaka mendaki, “ Wah pesen 14045 nih….cepet pesen KF*?!” atau kalo gak “ Eh di puncak ada mall loh, ntar beli es krim di sana”.

Pertama kali mendaki gunung Lawu di malam 1 Muharam atau 1 Suro berdasarkan kalender Jawa. Berempat saya, Besten, Tejo, dan Anggit berangkat mengendarai motor dari Yogyakarta. Kemudian kami memilih mendaki melalaui jalur Cemoro Sewu di Magetan. Jalanannya sudah berupa tata rambat hingga ke puncak dan merupakan jalur Express dari pada jalur lainnya. Cuma 4 Jam sudah bisa mencapai puncak. Sampai di puncak saya takjub, seakan kembali di jaman kerajaan, di sini layaknya pemukiman penduduk dengan warung-warung dari kayu dan jalan-jalan dari batu-batu kecil yang ditata rapi. Kami melihat kelmpok-kelompok orang dengan pakaian ala perguruan silat. Ada yang mengenakan pakaian hitam-hitam dengan seorang sesepuh memakai jubah berjalan di depan rombongan. Ada juga rombongan lainnya berpakaian putih-putih memakai senjata cambuk. Tapi saya kok tidak melihat Wiro Sableng dan nenek Sinto Gendeng ya??? Kecewa…akhirnya kami membeli soto ayam di warung Mbok Yem.

Transportasi adalah hal kedua yang butuh duit. Buat anggaran pulang dan pergi hingga detail, dan lebihkan sedikit siapa tahu tariff sudah naik. Untuk perijinan bisa bermaca-macam bentukknya. Ada yang cuma bayar tiket masuk, ada juga yang h arus mengurus ijin agak ribet. Biasanya gunung-gunung yang termasuk kawasan konservasi seperti Semeru dan Gede-Pangrango harus mengurus Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI).Untuk urusan perijinan, kita harus selalu siap sedia kartu identitas diri. Akan lebih baik jika kita mempersiapkan fotokopi KTP juga.

Percaya tak percaya hingga tahun 2008 di Merapi saya masih menggunakan kamera poket manual loh. Itu kamera bapak jaman masih muda. Merknya Fuji Film. Bunyinya Klik…..serrrrrrrrrrrrr, suara filmnya muter. Hasil fotonya? Saya pasrahkan pada yang di Atas. Kalo bagus Alhamdullillah, kalo jelek yang saya bela-belain mendaki lagi di gunung yang sama.Seminggu kemudian saya mendaki Merapi lagi, nganter teman. Untungnya dia bawa kamera digital.

Urusan dokumentasi bisa dikesampingkan jika duit mepet, mungkin membuat catatan perjalanan adalah alternatif dokumentasi yang murah dan simpel. Tapi saya percaya, di jaman yang modern ini, harga kamera udah kayak kacang rebus, jadinya gak bakal ada yang rela ngilangin momen untuk bergaya di depan kamera.Yang tak kalah penting adalah menyiapakan uang untuk keperluan lain-lain yang tak terduga.

***